Sejarah JAKARTA Riwayat Sebuah Kota

2 Juni 2009
Sejarah Jakarta bermula dari sebuah bandar kecil di muara Sungai Ciliwung sekitar 500 tahun silam. Selama berabad-abad kemudian kota bandar ini berkembang menjadi pusat perdagangan internasio-nal yang ramai

Sejarah Jakarta bermula dari sebuah bandar kecil di muara Sungai Ciliwung sekitar 500 tahun silam. Selama berabad-abad kemudian kota bandar ini berkembang menjadi pusat perdagangan internasio-nal yang ramai

Ringkasan Sejarah

Pengetahuan awal mengenai Jakarta terkumpul sedikit melalui berbagai prasasti yang ditemukan di kawasan bandar tersebut. Keterangan mengenai kota Jakarta sampai dengan awal kedatangan para penjelajah Eropa dapat dikatakan sangat sedikit.

Laporan para penulis Eropa abad ke-16 menyebutkan sebuah kota bernama Kalapa, yang tampaknya menjadi bandar utama bagi sebuah kerajaan Hindu bernama Sunda, beribukota Pajajaran, terletak sekitar 40 kilometer di pedalaman, dekat dengan kota Bogor sekarang. Bangsa Portugis merupakan rombongan besar orang-orang Eropa pertama yang datang ke bandar Kalapa. Kota ini kemudian diserang oleh seorang muda usia, bernama Fatahillah, dari sebuah kerajaan yang berdekatan dengan Kalapa. Fatahillah mengubah nama Sunda Kalapa menjadi Jayakarta pada 22 Juni 1527. Tanggal inilah yang kini diperingati sebagai hari lahir kota Jakarta. Orang-orang Belanda datang pada akhir abad ke-16 dan kemudian menguasai Jayakarta.

Nama Jayakarta diganti menjadi Batavia. Keadaan alam Batavia yang berawa-rawa mirip dengan negeri Belanda, tanah air mereka. Mereka pun membangun kanal-kanal untuk melindungi Batavia dari ancaman banjir. Kegiatan pemerintahan kota dipusatkan di sekitar lapangan yang terletak sekitar 500 meter dari bandar. Mereka membangun balai kota yang anggun, yang merupakan kedudukan pusat pemerintahan kota Batavia. Lama-kelamaan kota Batavia berkembang ke arah selatan. Pertumbuhan yang pesat mengakibatkan keadaan lilngkungan cepat rusak, sehingga memaksa penguasa Belanda memindahkan pusat kegiatan pemerintahan ke kawasan yang lebih tinggi letaknya. Wilayah ini dinamakan Weltevreden.

MENGAMATI kota Jakarta bagaikan membaca catatan panjang yang merekam berbagai kejadian masa lalu. Berbagai bangunan dan lingkungan di Jakarta menyimpan jejak-jejak perjalanan masyarakatnya, bagaimana mereka bersikap menghadapi tantangan zamannya, memenuhi kebutuhan hidupnya dan menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Ia menyimpan suka-duka dan pahit-manisnya perkembangan, di mana kita dapat menyerap pelajaran yang berharga.

Jakarta, Ibukota Republik Indonesia, memiliki banyak rekaman sejarah. Antara lain dalam bentuk bangunan maupun lingkungan. Di dalamnya tercermin upaya masyarakat masa lalu dalam membangun kotanya yang tak luput dari berbagai masalah dari zaman ke zaman.

“Jika kita memandang kota Jakarta sekarang, mungkin sulit terbayang bahwa ribuan tahun yang lalu kawasan ini masih baru terbentuk dari endapan lumpur sungai-sungai yang mengalir ke Jakarta. Misalnya Kali Ciliwung, Kali Angke, Kali Marunda, Kali Cisadane, Kali Besar, Kali Bekasi dan Kali Citarum. Usia dataran Jakarta kini diperkirakan 500 tahun berdasarkan geomorfologi, ilmu lapisan tanah.

Endapan ini membentuk dataran dengan alur-alur sungai yang menyerupai kipas. Dataran ini setelah mantap lama kelamaan dihuni orang dan terbentuklah beberapa kelompok pemukiman, di mana salah satunya kemudian berkembang menjadi pelabuhan besar, ” kata Muhammad Isa Ansyari SS, Sejarawan Terkemuka di Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Pemda DKI Jakarta.

Ia menuturkan, kota Jakarta merupakan kota yang berkembang dengan cepat sejak mendapat peran sebagai Ibukota Rl. Perkembangan itu disebabkan oleh faktor-faktor sosial, ekonomi dan budaya yang saling menjalin satu sama lain.

Bermula dari sebuah lingkungan pemukiman kecil dengan kegiatan hidup terbatas, dan kemudian berkembang menjadi lingkungan pemukiman megapolitan dengan berbagai kegiatan yang amatkompleks. Dalam paparan sejarah pertumbuhannya, di mana pemerintah kotanya silih berganti dan kondisi masyarakatnya sangat majemuk, baik dari suku bangsa, ras dan agama berikut berbagai aspek kehidupannya, warga kotanya tetap membangun tempat bermukim dan berkehidupan mereka sesuai dengan kemampuan dana, daya dan teknologi yang mereka miliki.

Sejarah Jakarta


Muhammad Isa Ansyari SS mengungkapkan sejarah kota Jakarta dimulai dengan terbentuknya sebuah pemukiman di muara Ciliwung. Menurut berita Kerajaan Portugal pada awal abad ke-15, pemukiman tersebut bernama “Kalapa” dan merupakan sebuah Bandar penting di bawah kekuasaan Kerajaan Pajajaran, yang pusatnya pada waktu itu berada di Kota Bogor.

“Di Kerajaan Pajajaran, Bogor, itu kini masih terdapat prasasti peninggalan abad ke-16. Nama prasasti itu “Sato Tulis”, peninggalan Rahyang Niskala Watu Kencana, Namun oleh orang Eropa Bandar tersebut lebih dikenal dengan nama Sunda Kalapa, karena berada di bawah kekuasaan Sunda,” kata Muhammad Isa Ansyari SS.

Dalam sejarah, ujar Sejarawan Terkemuka Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Pemda OKI Jakarta itu, Bandar Malaka ditaklukkan Kerajaan Portugal pada 1511. Tujuan Portugal ketika itu adalah mencari jalur laut untuk mencapai kepulauan Maluku, sumber rempah-rempah. Maka pada 1522 mendaratlah kapal utusan dari Malaka di bawah pimpinan Francesco De Sa.

Menurut laporan Francesco De Sa terjadi perundingan dengan pemuka Bandar Kalapa yang berada di bawah kekuasaan Raja Sunda yang beragama Hindu.

Sementara itu di Jawa Tengan dengan surutnya Kerajaan Majapahit berkembanglah Kerajaan Islam di Demak. Kerajaan Islam itu kemudian menyerang Kerajaan Sunda di Jawa Barat meliputi Cirebon, Banten, Kalapa dan lain-lain. Mengingat kurangnya sumber-sumber asli Jawa Tengah tnengenai peristiwa itu, maka kita terpaksa berpaling kepada berita Kerajaan Portugal yang pada akhirnya tidak saja berlabuh di Maluku tetapi juga Kerajaan Portugal ini merapatdi Timor Timur, menyatakan bahwa pada 1526-1527 sebuah armada Portugal telah mengunjungi Sunda Kalapa untuk memenuni perfanjian tahun 1522.

“Ternyata mereka belum mengetahui bahwa telah terjadi perubahan kekuasaan dari Kerajaan Pajajaran ke Kerajaan Banten, yaltu orang-orang dari Jawa Tengah yang beragama Islam .Ivlenurut berita yang mereka dapat, nama Pangtima yang diberikan adalah Falatehan, sebutan mereka untuk nama Fatahillah,” ujar Muhammad Isa Ansyari SS.

Masa Prasejarah

Di beberapa tempat di Jakarta seperti Pasar Minggu, Pasar Rebo, Jatinegara, Karet, Kebayoran, Kebon Sirih, Kebon Nanas, Cawang, Kebon Pala, Rawa Belong, Rawa Lefe, Rawa Bangke, ditemukan benda-benda pra sejarah seperti kapak, beliung, gurdi, dan pahat dari batu. Alat-alat tersebut berasal dari zaman batu atau zaman neolitikum antara tahun 1000 SM. Jadi, pada masa itu sudah ada kehidupan manusia di Jakarta.

“Dan seperti daerah latnnya, di Jakarta juga ditemukan prasasti. Prasasti Tugu ditemukan di Cilineing. Prasasti itu sarat informasi tentang Kerajaan Tarumanegara dengan Raja Purnawarman. Menurut prasasti itu, Jakarta merupakan wilayah Kerajaan Tarumanegara, kerajaan tertua di Puiau Jawa, di samping Bogor, Banten, Bekasi sampai Citarum di sebelah timur dan Giaruten,” kata Muhammad isa Ansyari SS.

Kronologis Peristiwa Penting

Pada 686 Masehi. Kerajaan Tarumanegara hancur akibat serangan balatentara Kerajaan Sriwijaya. Abad ke-14, Jakarta masuk ke wilayah Kerajaan Pakuan Pajajaran yang sering disebtit Kerajaan Pajajaran, atau Kerajaan Sunda. Kerajaan Pajajaran memiiiki enam petabuhan, diantaranya pelabuhan Sunda Kalapa. Kota pelabuhan ini terletak di Teluk Jakarta – di muara sungai Citiwung – yang merupakan pusat perdagangan paling penting seiak abad ke-12 hingga ke-16.

Senin, 21 Agustus 1522. Begitu pentingnya, Sunda Kalapa tak luput dari incaran orang-orana Portugis yang sejak tahun 1511 sudah bercokol di daratan Malaka. Keinginan mereka mendapatkan sambutan baik dari Raja Pajajaran. Selain berkepentingan soal perdagangan, Raja Pajajaran juga bermaksud meminta bantuan orang-orang Portugis dalam menghadapi orang-orang Islam, yang sudah banyak pengikutnya di Banten dan Cirebon. Demak, kala itu, sudah menjadi pusat kekuatan dan penyebaran agama Islam.

Perjanjian kerjasama pun ditandatangani antara Raja Pajajaran dan orang Portugis. Isinya orang Portugis ditzinkan mendirikan benteng di Sunda Kalapa, yang ditandai di tepi sungai Ciliwung. Rabu 22 Juni 1527. Perjanjian itu tak dapat diterima Demak, Kerajaan Islam yang saat itu sedang berada di puncak kejayaan. “Sultan Demak mengirimkan balatentaranya, yang dipimpin sendiri oleh menantunya, Fatahillah. Pasukan Fatahillah berhasil menduduki Sunda Kalapa pada 1527. Tatkala armada Portugal datang, pasukan Fatahillah menghaneurkannya. Sia-sia armada Portugal itu hengkang Ke Malaka,” ujar Muhammad Isa Ansyari SS.

Dengan kemenangan itu Fatahillah menggantt nama Sunda Kalapa menjadi Jayakarta. Artinya “Kemenangan Berjaya”. Itulah peristiwa bersejarah yang ditetapkan sebagai ‘hari jadl’ Kota Jakarta. Kekuasaan Jayakarta akhirnya berada di tangan Fatahillah, dan makin meluas sampai ke Banten menjadi Kerajaan Islam.

Tahun 1595. Cornells de Houtman dan anak buahnya tiba di perairan Banten. Orang-orang Belanda itu datang mencari rempah-rempah. Persaingan di antara mereka makin ketat dibumbui permusuhan.

Rabu 20 Maret 1602 seorang token dan negarawan Kerajaan Belanda, Johati van Oldenbarneveld, mengambil suatu prakarsa mengumpulkan para pedagang Belanda dalam suatu wadah. Berdirilah serikat dagang Verenigde Oost Indische Compaqnie atau VOC. VOC merupakan wadah konglomerat zaman dulu.

Tahun 1617. Orang-orang Kerajaan Belanda diizinkan berdagang di Jayakarta. Mereka memperoleh sebidang tanah di sebelah timur sungai Ciliwung, di perkampungan Cina. Di situ mereka membangun kantor dan benteng. Kubu pertahanan Kerajaan Belanda itu tak disukai orang Jayakarta, Banten maupun Kerajaan Inggris. Mereka kemudian berperang.

Tahun 1619. Terjadi pertempuran sengit segitiga antara Kerajaan Belanda, Kerajaan Inggris dan Kerajaan Portugal di pelabuhan Sunda Kalapa. Suasana Teluk Jayakarta itu sekejab menjadi merah api dan merah darah. Di laut teluk banyak bergelimpangan mayat-mayat serdadu Kerajaan Belanda dan Kerajaan Portugal setelah kedua negara kerajaan itu habis digempur pasukan laut Kerajaan Inggris. Inggris menang dalam perang itu.

Kamis, 30 Mei 1619, JP Goen menaklukkan kembali sekaligus menguasai Jayakarta. Saat itu armada Kerajaan Inggris sudah tidak ada lagi karena telah berangkat berlayar menuju Australia, meninggalkan Jayakarta. Sedang armada (laut Kerajaan Portugal pergi menuju ke wilayah ujung timur Nusantara, tepatnya di Timor Timur.

“Jayakarta pada tahun tersebut memasuki lembaran baru. Nama Jayakarta diubah Kerajaan Belanda menjadi Batavia. Nama Batavia ini berasal dari nama Batavieren, bangsa Eropa yang menjadi nenekmoyang Kerajaan Belanda,” tukas Muhammad Isa Ansyari SS.

VOC mula-mula menjadikan Batavia sebagai pusat perdagangan dan pemerintahan. Dengan kepiawaian kompeni lewat intrik dan politik adu domba atau cfewtte et impera terhadap raja-raja di Nusantara. Seluruh wilayah Nusantara dijarahnya. Kejayaannya pun berlangsung cukup lama.

Tahun 1798. VOC jatuh dan dibubarkan. Kekuasaan, harta benda dan utangnya yartg 134,7 juta gulden diambil alih Pemerintahan Kerajaan Belanda. Rabu, 1 Januari 1800, Indonesia sejak itu diperintah langsung oleh Pemerintah Kerajaan Belanda. Suatu majelis untuk urusan jajahan Asia lalu didirikan.

Namun, awal Maret 1942, Kerajaan Jepang merebut kekuasaan dari Kerajaan Belanda pada Perang Dunia ke-2. Nama Batavia dikubur balatentara Kerajaan Jepang. Dan, nama Jakarta menggantikannya sampai sekarang. (sumber : majalah amanah)


Jakarta Menyimpan Sejarah Kampung Tua

2 Juni 2009

Tak cukup sehari menyelusuri sisa-sisa Kampung Tua di Jakarta Kota. Di sana di bekas pembantaian masal terdapat satu meja sembahyang. Ada delapan Teko Teh di bekas rumah tua milik saudagar Cina. Glodok yang sekarang menjadi wilayah bisnis ternyata dulu merupakan ruang isolasi warga Cina.

Upaya  Museum Sejarah Jakarta  menjadi pusat informasi sejarah perkembangan kota dan budaya masyarakat Jakarta sulit direalisir. Terlebih bila menyangkut  masa prasejarah masa kini  dalam bentuk yang edukatif dan rekreatif, agak kerepotan. Betapa tidak, Jakarta sebagai ibukota Republik Indonesia memiliki sejarah yang sangat panjang. Betapa pun usaha maksimal telah diupayakan oleh Museum Sejarah Jakarta untuk mengumpulkan informasi tentang sejarah Jakarta, namun  ada saja bagian dari sejarah Jakarta yang belum dapat ditampilkan serta diinformasikan secara maksimal kepada pengunjung museum.

Sejarah kota Jakarta diperkirakan dimulai sekitar 3.500 SM, diawali dengan terbentuknya pemukiman sejarah di sepanjang daerah aliran sungai Ciliwung. Seiring dengan perjalanan sejarah, maka berbagai kampung tumbuh di sepanjang aliran sungai itu. Kampung-kampung ini ada yang bertahan sampai sekarang yang di sebut Kampung Tua. Diantaranya adalah Kampung Bandan, Kampung Orang Cina (Pecinan), Kampung Luar Batang, Kampung Pekojan, Kampung Angke, Kampung Kebon Jeruk dan masih banyak lagi. Kampung-kampung ini telah banyak mengalami perubahan karena termakan waktu, kendati  letak dan sisanya masih bisa disaksikan di era pembangunan.

Keberadaan kampung tua dan bangunan-bangunan bersejarah yang  terletak di kampung-kampung tersebut justru merupakan kelebihan yang dimiliki kota Jakarta. Walaupun Jakarta tidak memiliki keindahan alamiah. Semisal  Hongkong dengan peak-nya atau lalu lalang kapal di pelabuhan, atau istana-istana berlapis emas  di Bangkok. Selain juga tidak memiliki daerah hijau di sekitar waduk-waduk air bersih di tengah-tengah kota seperti di Singapura. Tetapi Jakarta memiliki kampung-kampung tua beserta bangunan-bangunan tua yang ada di wilayah tersebut. Merupakan aset bernilai tinggi di wilayah Jakarta Kota.

Museum Sejarah Jakarta (MSJ) berusaha menginformasikan  sejarah kota Jakarta secara lengkap. Termasuk keberadaan kampung-kampung tua bersejarah ini. Namun  karena keterbatasan ruang pamer dan koleksi yang dimiliki, maka sejak tahun 2002 MSJ  mengadakan terobosan dengan mengajak masyarakat langsung berkunjung ke kampung-kampung tua tersebut. Kebetulan sebagian dari kampung-kampung tua itu terletak di Kawasan Kota Tua di sekitar MSJ
Museum Sejarah Jakarta (MSJ) berusaha menginformasikan sejarah kota Jakarta secara lengkap. Termasuk keberadaan kampung-kampung tua bersejarah ini. Namun karena keterbatasan ruang pamer dan koleksi yang dimiliki, maka sejak tahun 2002 MSJ mengadakan terobosan dengan mengajak masyarakat langsung berkunjung ke kampung-kampung tua tersebut. Kebetulan sebagian dari kampung-kampung tua itu terletak di Kawasan Kota Tua di sekitar MSJ

Kegiatan yang pada awalnya disebut Wisata Kampung Tua, dan kini dinamakan Kunjungan Kampung-Kampung Bersejarah ini, sengaja dirancang untuk dapat dinikmati oleh untuk semua lapisan masyarakat lokal maupun mancanegara.  Wisata dilakukan dengan berjalan kaki, agar peserta dapat langsung merasakan denyut kehidupan di kampung-kampung tua tersebut sambil menikmati keindahan arsitektur dari bangunan-bangunan bersejarah yang terdapat didalamnya

Glodok Sebagai Ruang Isolasi Warga China

Sejarah menunjukan, Glodok yang kini menjadi pusat bisnis di perkotaan ternyata bekas ruang isolasi kaum Cina. Sejak zaman sebelum Gubernur Jenderal Jan Pieter Zoon Coen berkuasa, Glodok sudah didiami oleh orang Tionghoa. Namun, setelah terjadinya pemberontakan laum Tionghoa pada tahun 1740, barulah Glodok menjadi pusat perkampungan mereka. Sesudah pemberontakan itu ditumpas oleh kompeni, mereka tidak diperbolehkan lagi tinggal di dalam tembok kota. Glodok adalah perkampungan yang ditunjuk oleh kompeni sebagai kampung mereka. Sejak itulah,  Glodok berubah sebagai  Pecinan dan sebagai pusat perdagangan.

Sebagai pecinan, tentu saja Glodok banyak dihuni warga Tionghoa. Kebanyakan selain yang tinggal di kampung sekelilingnya, warga Tionghoa bersama keluarganya  bermukim  di bagian lantai atas. Sedangkan di ruang bawah menjadi ruang usaha. Benarlah bahwa Ruko  yang  kini bertebaran di berbagai tempat merupakan gaya hidup orang Tionghoa yang tidak suka hidup boros. Tapi, sejak beberapa waktu yang lalu sebagian dari mereka sudah meninggalkan Ruko  dan memilih tinggal di perumahan real estate yang terdapat di lima wilayah kota  Jakarta
Sebagai pecinan, tentu saja Glodok banyak dihuni warga Tionghoa. Kebanyakan selain yang tinggal di kampung sekelilingnya, warga Tionghoa bersama keluarganya bermukim di bagian lantai atas. Sedangkan di ruang bawah menjadi ruang usaha. Benarlah bahwa Ruko yang kini bertebaran di berbagai tempat merupakan gaya hidup orang Tionghoa yang tidak suka hidup boros. Tapi, sejak beberapa waktu yang lalu sebagian dari mereka sudah meninggalkan Ruko dan memilih tinggal di perumahan real estate yang terdapat di lima wilayah kota Jakarta

Rumah Keluarga Souw

Kali Besar menuju jalan Patekoan (Perniagaan). Konon nama Patekoan artinya delapan buah teko/poci. Di masa Gan Djie menjabat sebagai Kapitein Cina, ia tinggal di wilayah yang sekarang bernama Patekoan ini. Kapitein Gan dan istrinya berjiwa sosial, sehingga  mereka sengaja menyediakan delapan buah teko (poci) berisi teh. Angka delapan sengaja dipilih sebab mempunyai konotasi baik dalam Kebudayaan Tionghoa. Mereka yang tengah kehausan di perjalanan dipersilahkan minum air teh yang disediakan oleh Kapitein Gan itu. Pada waktu itu di daerah tersebut belum banyak yang berjualan makanan dan minuman seperti sekarang. Sehingga air teh ini sangat menolong orang yang kehausan dalam perjalanan. Akhirnya jalan tersebut dinamakan Patekoan.

Di antara beberapa gedung tua berarsitektur Tionghoa kuno di Jakarta Kota yang belum dihancurkan seperti di jalan Patekoan adalah bekas rumah keluarga saudagar Souw. Salah satu dari anggota keluarga ini yang terkenal adalah kakak-beradik Souw Siauw Tjong dan Souw Siauw Keng. Kakek buyut mereka adalah Luitenant der Chineezen Souw Kong Seng (1766-1821) dan ayah mereka adalah  Luitenant der Chineezen Souw Thian Pie. Souw Siauw Tjong adalah salah seorang terkaya di Batavia pada masa itu. Ia memiliki tanah luas di Paroeng Kuda, Kedawung Wetan dan Ketapang di wilayah Tangerang Banten. Selain kaya-raya, ia  berjiwa sosial. Mendirikan sekolah-sekolah bagi anak-anak bumiputera di tanah miliknya, memelihara orang-orang miskin dan menyumbangkan makanan dan bahan-bahan bangunan pada waktu terjadi kebakaran di daerah sekitar tempat tinggalnya. Rumah keluarga Souw ini sampai sekarang masih terawat dengan baik dan masih didiami oleh keturunan dari Souw Siauw Tjong. Di tahun 50-an di kampung Blandongan  Jakarta Kota di ditemui seorang warga keturunan China yang memiliki  jiwa sosial. Bernama Pah Wong So (Wong Souw ?). Ia membuka semacam rumah singgah/rumah yatim piatu untuk orang-orang miskin, gelandangan dan kaum dhuafa lainnya. Mereka dipelihara, diberi makan dan pakaian seragam. Dan dididik sesuai keahliannya. Semisal menjadi tukang gunting rambut, penjahit pakaian, sol sepatu atau apa saja berkaitan dengan ekonomi. Mereka juga disalurkan kepada majikan yang membutuhkan tenaga. Seperti  pembantu rumah tangga, tukang cuci, tukang masak di  rumah makan dll. Mungkinkah Pah Wong So masih keturunan saudagar Cina yang berjiwa sosial ? Masih jadi pertanyaan.

Sejarah terus bergulir, tapi rumah  keluarga Souw  masih dipertahankan keasliannya, termasuk arsitekturnya yang indah. Sedangkan gedung SMUN 19, yang merupakan bekas Gedung THHK. Juga punya menyimpan sejarah yang unik. Lukman, Kepala SMUN 19,  berkisah bahwa sekolah ini juga menyimpan sejarah. D tempat inilah mula pertama berdiri suatu organisasi modern di kota Batavia (Jakarta Kota).

Kelenteng Hong San Bio (Toa Sai Bio)

Kelenteng ini dinamakan Toa Sai Bio karena dewata yang dipuja di kelenteng ini dikenal sebagai Toa Sai Kong atau Paduka Duta Besar, dan belakangan berubah menjadi Toa Sebio. Nama Toa Sebio ini sampai sekarang masih dipakai di kalangan penduduk lama Jakarta, walau nama jalannya telah diganti menjadi Kemenangan III. Kelenteng ini dibangun oleh orang Hokian dari kabupaten Chang Tai Keresidenan Zhangzhou, propinsi Fujian dan dipersembahkan kepada dewata dari aliran Daoisme Cheng-goan Cin-kun.Yang menarik disini ada sebuat tempat hio (hio louw) yang terletak di ruang utama kelenteng ini. Hio Louw ini berangkat tahun 1751 dan memiliki ukiran yang sangat indah. Puas melihat keindahan kelenteng serta mengamati kegiatan di kelenteng ini peserta meneruskan perjalanan ke Kelenteng Jin DeYuan.

Tragedi Pembantaian Angke

Kelenteng Jin De Yuan yang terletak di Jl. Kemenangan III merupakan salah satu kelenteng tertua di Jakarta Kota. Didirikan tahun 1850 oleh Letnan Kwee Hoen dan diberi nama Koan-Im Teng. Kelenteng ini dipersembahkan kepada Dewi Koan-Im (Dewi Welas Asih). Konon dari kata Koan Im Teng inilah kemudian timbul istilah kelenteng yang berarti “kuil Tionghoa”. Kelenteng ini merupakan salah satu dari empat kelenteng besar yang berada di bawah pengelolaan Kong Koan atau Dewan Tionghoa. Keempat kelenteng itu adalah Kelenteng Goenoeng Sari, Kelenteng Toa Peh Kong (di Ancol), Kelenteng Jin Deyuan sendiri serta kelenteng Hian Thian Shang Te Bio di Tanah Tandjoeng (sekarang sudah musnah). Tahun 1740 kelenteng ini turut dirusak dalam peristiwa pembantaian terbesar etnis Tionghoa dalam sejarah kolonialisme Belanda di Indonesia. Peristiwa yang terjadi tanggal 9-12 Oktober 1740 dan menelan korban 10.000 jiwa inilah yang kemudian dikenal sebagai Tragedi Pembantaian Angke. Hanya sebuah meja sembahyang berangka tahun 1724 yang tersisa dari peristiwa pambakaran kelenteng ini.

Gereja Santa Maria De Fatima

Begitu melihat arsitektur gereja ini, peserta langsung mengerti mengapa mereka diajak untuk mengunjungi gereja ini. Dari segi gaya arsitektur gereja ini sangat khas dan mungkin satu-satunya di Indonesia. Gereja ini dibangun dalam bentuk gedung besar kediaman seorang pejabat Tionghoa, dengan bentuk atap ian-boe heng (ekor walet) serta dikawal sepasang shi shi (singa batu). Tak banyak yang diketahui mengenai pemiliknya yang pertama kecuali ia seorang berpangkat Luitenant derc hineezen dan bermarga Tjioe.

Salah satu keistimewaan gedung ini adalah adanya inskripsi dalam aksara Tionghoa. Di bagian bubungan atap tertera daerah asal pemiliknya yang terdahulu yaitu kabupaten Nan An, keresidenan Quanzhou, propinsi Fujian. Inskripsi lain juga di bagian bubungan atap yaitu fu shou, kang, ning yang artinya rezeki, umur panjang, kesehatan dan ketentraman.Di bawah pengelolaan gereja, bangunan ini tampak sangat terpelihara baik tanpa menghilangkan keasliannya. Sebuah sketsel berwarna merah dan emas dipasang di depan pintu utama gereja, berfungsi menghalangi pandangan luar langsung masuk ke dalam.